Beranda | Artikel
Akhlak yang Mulia, Tanda Kesempurnaan Islam Seorang Muslim
1 hari lalu

Mengusahakan ibadah-ibadah individual, seperti: salat, berpuasa, melaksanakan ibadah haji, umrah, dan ibadah-ibadah lainnya, tentu akan lebih mudah untuk dilakukan daripada ibadah-ibadah sosial yang erat kaitannya dengan akhlak yang mulia dan perangai yang baik. Tidak sedikit kita jumpai, seseorang yang baik salatnya, rajin bangun di tengah malam, rajin berpuasa, namun ia lupa atau lalai dari menghiasi dirinya dengan akhlak yang mulia.

Tidak bertegur sapa dengan saudara semuslimnya saat bertemu, mudah berbicara kotor, hobi membicarakan (kejelekan) saudara semuslimnya tanpa sepengetahuan saudaranya tersebut, dan akhlak-akhlak tidak terpuji lainnya yang terkadang dijumpai dari seorang pribadi muslim yang zahirnya adalah seorang yang saleh.

Saudaraku, akhlak yang baik adalah tujuan utama diutusnya Nabi kita. Akhlak yang baik adalah buah dari amal ibadah yang kita lakukan sehari-hari. Tidaklah diri kita dikatakan berhasil dan sukses di dalam mengerjakan ibadah-ibadah, seperti: salat, tahajud, dan lain sebagainya, kecuali apabila memiliki akhlak yang mulia. Lihatlah apa yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam katakan tatkala ada seorang sahabatnya yang bertanya kepadanya,

يا رَسولَ اللهِ ! إنَّ فلانةَ تقومُ اللَّيلَ و تَصومُ النَّهارَ و تفعلُ ، و تصدَّقُ ، و تُؤذي جيرانَها بلِسانِها ؟ فقال رسولُ اللهِ صلَّى الله عليهِ و سلم لا خَيرَ فيها ، هيَ من أهلِ النَّارِ . قالوا : و فُلانةُ تصلِّي المكتوبةَ ، و تصدَّقُ بأثوارٍ ، و لا تُؤذي أحدًا ؟ فقال رسولُ اللهِ : هيَ من أهلِ الجنَّةِ

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya ada seorang perempuan yang rajin salat malam, rajin sedekah, dan rajin puasa, namun dia suka menyakiti tetangganya dengan lisannya.” Nabi pun berkomentar, “Sungguh tidak ada kebaikan padanya, dia di neraka.” Para sahabat bertanya lagi, “Ada perempuan yang dikenal hanya melaksanakan salat lima waktu saja (jarang melaksanakan salat sunah) dan dia hanya bersedekah dengan potongan keju, namun dia tidak pernah menyakiti tetangganya.” Rasulullah menjawab, “Dia ahli surga.” (HR. Ahmad no. 9675 dan Bukhari dalam Al-Adab Al-Mufrad no. 119)

Nabi diutus untuk mengajarkan akhlak yang mulia

Dahulu kala, orang-orang jahiliah sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam sangatlah jauh dari akhlak yang baik. Banyak dari mereka yang memiliki akhlak dan perangai yang buruk.

Akhlak terburuk mereka adalah menyekutukan Allah Ta’ala, padahal mereka mengetahui bahwa Allahlah satu-satu-Nya Zat yang menciptakan mereka. Mereka pernah mengubur hidup-hidup anak-anak perempuan mereka karena rasa malu dan anggapan bahwa anak perempuan adalah aib bagi kedua orang tuanya. Mereka juga memiliki kebiasaan mabuk, berbuat zina, meratapi mayit, serta saling mengejek dan mencela.

Oleh sebab itu, di antara perjanjian (baiat) yang Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berlakukan untuk mereka yang masuk Islam setelah dibukanya kota Makkah adalah meninggalkan perbuatan-perbuatan tersebut. Hal ini sebagaimana dikisahkan oleh Abdullah bin Amru radhiyallahu ‘anhu,

جاءَتْ أُمَيمةُ بنتُ رُقَيقةَ إلى رسولِ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّمَ تُبايِعُه على الإسلامِ، فقال: أُبايِعُكِ على أنْ لا تشرِكي باللهِ شيئًا، ولا تسرِقي، ولا تزني، ولا تقتُلي وَلدَكِ، ولا تأتي ببُهتانٍ تفترينَه بين يدَيكِ ورِجلَيكِ، ولا تَنوحي، ولا تبرَّجي تبرُّجَ الجاهليَّةِ الأولى.

Umaimah binti Ruqaiqah mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk berbaiat kepada beliau mengenai keislamannya. Maka, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan,

“Aku baiat dirimu untuk tidak menyekutukan Allah dengan suatu apa pun, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak kalian, tidak berbuat dosa yang didatangkan di antara tangan-tangan dan kaki-kaki kalian, tidak meratapi kematian seseorang, dan tidak bersolek serta berhias layaknya kebiasaan orang-orang di awal-awal masa jahiliah.” (HR. Ahmad no. 6850)

Di lain kesempatan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam juga pernah bersabda,

 إنما بُعِثتُ لأتمِّمَ مكارمَ الأخلاقِ

“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan kemuliaan akhlak.” (HR. Al-Baihaqi no. 21301 dan Ahmad no. 8952)

Rasulullah diutus untuk menyempurnakan dan memperbaiki akhlak umat manusia, sekaligus sebagai contoh teladan yang baik dalam hal tersebut. Hal ini seperti firman Allah,

لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِى رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٌ۬ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأَخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرً۬ا

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (QS. Al-Ahzab: 21)

Jika kita benar-benar mencintai beliau, benar-benar ingin menjalankan syariat ini secara sempurna, maka tentu harus memiliki akhlak yang mulia, berusaha semaksimal mungkin untuk meneladani beliau dalam bermuamalah dan bergaul dengan orang tua, dengan anak-anak, dengan teman sebaya, dan dengan siapa pun yang hidup bersama kita dan bersinggungan dengan diri kita sehari-hari.

Ibadah badan adalah wasilah (sarana) untuk mewujudkan akhlak yang mulia

Allah Ta’ala tidaklah memerintahkan kita untuk beribadah, kecuali di baliknya terdapat hikmah yang agung dan besar yang dapat kita ambil darinya. Dan di antara hikmah terbesar yang akan didapatkan seorang hamba tatkala memperbanyak ibadah adalah agar dirinya menjadi sosok muslim yang berakhlak mulia dan berbudi pekerti yang baik kepada siapa pun.

Dalam hal salat misalnya. Allah Ta’ala pernah berfirman,

وَأَقِمِ ٱلصَّلَوٰةَ ۖ إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنْهَىٰ عَنِ ٱلْفَحْشَآءِ وَٱلْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ ٱللَّهِ أَكْبَرُ ۗ

“Dan dirikanlah salat. Sesungguhnya salat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (salat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain).” (QS. Al-Ankabut: 45)

Ibadah salat yang kita harapkan keutamaannya adalah salat yang dapat menjaga diri kita dari berlaku keji dan mungkar. Menjauhkan diri kita dari berucap kotor, menyakiti orang lain, dan mengganggu orang lain.

Mengenai kewajiban membayar zakat, Allah Ta’ala berfirman,

خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ بِهَا

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 103)

Baik itu mensucikan mereka yang membayar zakat dari dosa-dosa ataupun mensucikan hati mereka dari perangai buruk lagi tak terpuji.

Mengenai ibadah haji, Allah Ta’ala juga mewanti-wanti agar ibadah haji yang dilakukan seseorang jauh dari perilaku buruk, perangai yang tidak terpuji, dan akhlak yang tidak baik kepada orang lain. Allah Ta’ala berfirman,

الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلا رَفَثَ وَلا فُسُوقَ وَلا جِدَالَ فِي الْحَجِّ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ

“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi. Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, karena sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang berakal.” (QS. Al-Baqarah: 197)

Bahkan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mensyaratkan perolehan keutamaan dihapusnya dosa bagi mereka yang berhaji dengan tidak adanya akhlak terpuji yang dilanggar oleh mereka. Beliau bersabda,

مَنْ حَجَّ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَهَيْئَتِهِ يَوْمَ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ 

“Barangsiapa menunaikan ibadah haji, lalu ia tidak mengucapkan kata-kata kotor, serta tidak berbuat kefasikan, maka ia pulang dalam keadaan suci seperti pada saat dilahirkan oleh ibunya.” (HR. Bukhari no. 1521 dan Muslim no. 1350)

Merugilah mereka yang berakhlak buruk dan tidak mau berubah!

Sungguh kerugian yang besar bagi siapapun yang memiliki akhlak buruk dan tidak mau berubah darinya. Apalagi jika perangai buruknya tersebut bersangkutan dengan hak-hak dan kehormatan orang lain. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengingatkan kita bahwa amal ibadah individual bisa saja menjadi tidak bernilai apa-apa di sisi Allah Ta’ala karena kezaliman dan perangai buruk yang kita miliki. Di dalam hadis sahih, beliau menyampaikan,

مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ 

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta, perbuatan dusta, maka Allah tidak butuh dia meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya).” (HR. Bukhari no. 1903)

Beliau juga pernah menyampaikan,

رُبَّ صَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ صِيَامِهِ الْجُوعُ وَالْعَطَشُ ، وَرُبَّ قَائِمٍ حَظُّهُ مِنْ قِيَامِهِ السَّهَرُ 

“Berapa banyak orang yang berpuasa, hanya mendapatkan dari puasanya rasa lapar dan haus saja. Dan berapa banyak orang yang melakukan qiyamullail hanya mendapatkan dari qiyamullailnya terjaga (begadang) saja.” (HR. An-Nasai dalam As-Sunan Al-Kubra no. 3249 dan Ibnu Majah no. 1690)

Alangkah meruginya seorang hamba yang rajin beribadah kepada Allah di malam-malam yang sunyi, rajin bersedekah, rajin berpuasa sunah, akan tetapi saudara semuslimnya tidak nyaman untuk tinggal di sekitarnya, teman-temannya menjaga jarak dari dirinya karena khawatir akan keburukannya.

Sungguh kerugian yang besar bagi mereka yang terbiasa menjadikan olokan dan hinaan sebagai bahan tertawaan, mengumbar aib manusia sebagai bahan pembicaraan, karena di dalam hadis yang sahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya kepada para sahabatnya,

أَتَدْرُونَ مَا الْمُفْلِسُ قَالُوا الْمُفْلِسُ فِينَا مَنْ لَا دِرْهَمَ لَهُ وَلَا مَتَاعَ فَقَالَ إِنَّ الْمُفْلِسَ مِنْ أُمَّتِي يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِصَلَاةٍ وَصِيَامٍ وَزَكَاةٍ وَيَأْتِي قَدْ شَتَمَ هَذَا وَقَذَفَ هَذَا وَأَكَلَ مَالَ هَذَا وَسَفَكَ دَمَ هَذَا وَضَرَبَ هَذَا فَيُعْطَى هَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ وَهَذَا مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ فَنِيَتْ حَسَنَاتُهُ قَبْلَ أَنْ يُقْضَى مَا عَلَيْهِ أُخِذَ مِنْ خَطَايَاهُمْ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ ثُمَّ طُرِحَ فِي النَّارِ

“Tahukah kamu, siapakah orang bangkrut itu?” Para sahabat radhiyallahu ‘anhum menjawab, “Orang bangkrut menurut kami adalah orang yang tidak punya uang dan barang.” Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Sesungguhnya orang bangkrut di kalangan umatku, (yaitu) orang yang datang pada hari kiamat dengan membawa (pahala amalan) salat, puasa dan zakat. Tetapi dia juga mencaci maki si ini, menuduh si itu, memakan harta orang ini, menumpahkan darah orang ini, dan memukul orang ini. Maka, orang ini diberi sebagian kebaikan-kebaikannya, dan orang ini diberi sebagian kebaikan-kebaikannya. Jika kebaikan-kebaikannya telah habis sebelum diselesaikan kewajibannya, kesalahan-kesalahan mereka diambil, lalu ditimpakan kepadanya, kemudian dia dilemparkan di dalam neraka.” (HR. Muslim no. 2581)

Semoga Allah Ta’ala senantiasa memberikan hidayah kepada kita semua untuk selalu berakhlak mulia, menjaga diri kita dari sifat kesombongan, kezaliman, dan berlaku semena-mena kepada orang lain.

Wallahu a’lam bis-shawab.

***

Penulis: Muhammad Idris, Lc.


Artikel asli: https://muslim.or.id/101334-akhlak-yang-mulia-tanda-kesempurnaan-islam-seorang-muslim.html